Skema pengumpulan tanah untuk pembangunan ibu kota baru di Andhra Pradesh, India

Setelah terpecahnya persatuan Negara Andhra Pradesh pada Maret 2014 menjadi Andhra Pradesh dan Telangana, Hyderabad, yang dulu merupakan ibu kota, menjadi ibu kota Telangana. Negara Andhra Pradesh yang baru dibentuk perlu menetapkan sebuah ibu kota baru. Memilih untuk melakukan pendekatan yang benar-benar baru, pemerintah negara memulai perencanaan dan pembangunan ibu kota baru di atas tanah yang sebagian besar merupakan lahan pertanian.

Skema pengumpulan tanah untuk pembangunan ibu kota baru di Andhra Pradesh, India

Instrument dan jumlah pembiayaan 

Mengakuisisi lebih dari 150 kilometer persegi tanah untuk pembangunan melalui pengumpulan tanah

Latar belakang

Setelah terpecahnya persatuan Negara Andhra Pradesh pada Maret 2014 menjadi Andhra Pradesh dan Telangana, Hyderabad, yang dulu merupakan ibu kota, menjadi ibu kota Telangana. Negara Andhra Pradesh yang baru dibentuk perlu menetapkan sebuah ibu kota baru. Memilih untuk melakukan pendekatan yang benar-benar baru, pemerintah negara memulai perencanaan dan pembangunan ibu kota baru di atas tanah yang sebagian besar merupakan lahan pertanian.

Berdasarkan konsep pengumpulan tanah, di mana pemilik tanah menyumbangkan tanah mereka ditukar dengan bidang tanah yang lebih sempit tetapi lebih berkembang di masa depan, pemerintah memperkenalkan Sistem Pengumpulan Tanah (LPS). Sistem ini bertujuan untuk mengatasi kesulitan yang berkaitan dengan metode tradisional akusisi tanah, seperti penggusuran paksa dan penundaan kompensasi  Dilaksanakan sejak Januari 2015 dan seterusnya, LPS menargetkan akuisisi 38.581 hektar (156 kilometer persegi) tanah untuk ibu kota baru Amaravati.

Pendekatan

Berdasarkan skema Pengumpulan Tanah (LPS), pemilik tanah ditawari beberapa manfaat sebagai imbalan kontribusi tanah mereka, termasuk:

  • Memiliki kembali tanah di kawasan yang dikembangkan seluas 50% dari tanah yang mereka sumbangkan.
  • Pembebasan biaya pengembangan berdasarkan ukuran dan lokasi tanah yang dikumpulkan.
  • Perbaikan infrastruktur di desa-desa mereka, seperti jalan, pasokan air bersih dan drainase.
  • Fasilitas sosial seperti sekolah, rumah sakit, dan taman.

Setiap 26 area pengumpulan tanah, digambarkan dengan batas desa, memiliki ukuran bagian bidang yang tetap. Bidang yang lebih luas ditetapkan untuk jalan-jalan lebar, sedangkan bidang yang lebih sempit untuk jalan-jalan kecil. Baik bidang tanah yang lebar maupun yang sempit ada dalam berbagai ukuran, memberikan banyak opsi bagi pemilik tanah untuk memilih agar memenuhi jumlah luas tanah yang jadi haknya.   Contohnya, pemilik tanah bisa membagi tanahnya menjadi satu bidang tanah luas dan beberapa tanah sempit atau memilih alokasi bersama dengan mengabungkan tanah mereka dengan tanah milik orang lain. Susunan pemilihan bidang tanah dalam setiap area pengumpulan tanah ditentukan melalui sistem undian di antara para pemilik tanah. Semua pemilik tanah diberi sertifikat kepemilikan pengumpulan tanah dengan hak yang bisa dialihkan, pembebasan biaya pendaftaran, dan hal atas keuntungan modal.

Versi awal dari skema diedarkan secara luas agar masyarakat memberi tinjauan dan umpan balik, dengan jangka waktu 30 hari untuk menyampaikan komentar dan keberatan. Pejabat pemerintah mengunjungi desa-desa untuk berkonsultasi dengan warga tentang berbagai aspek seperti desain, ukuran dan lokasi bidang tanah untuk bidang tanah yang akan dikembalikan kepada mereka. Pemilik tanah dapat meninjau rencana pembagian bidang tanah untuk desa mereka dan langsung terlibat dengan para pejabat untuk menangani masalah mereka.

Pemerintah menanggapi umpan balik dengan serius, memasukkan saran-saran ke dalam skema yang direvisi. Contohnya, petani menekankan pentingnya lokasi bidang tanah yang dibangun dekat dengan desa mereka yang ada saat ini.

Hasil

Skema dimulai tahun 2015 dengan proses konsultasi intentisif bersama sebagian besar petani di seluruh 24 desa di area perencanaan. Hanya dalam waktu 60 hari, pemerintah berhasil mendapatkan persetujuan dari 25.000 petani di 22 dari 24 desa untuk memnyumbangkan 30.000 hektar tanah untuk kota baru.

LPS Andhra Pradesh telah dipuji oleh para perencana perkotaan dan pembuat kebijakan di seluruh negri atas pendekatan mereka yang inovatif dalam mengakuisisi tanah dan membangunnya. Hal ini menunjukkan bahwa mengembangkan proyek-proyek besar mungkin saja dilakukan tanpa harus melakukan pengusuran paksa atau mengasingkan pemilik tanah

Pelajaran

Kerangka hukum yang jelas

Kerangka kerja lembaga yang komprehensif dan terfokus dibentuk pada Desember 2014 untuk merencanakan dan melaksanakan ibu kota baru Berbagai model pengumpulan tanah yang dipraktikkan di India ditinjau dan dipelajari, termasuk Gujarat, Chhattisgarh, Mohali (Punjab), dan Maharashtra untuk mengembangkan kerangka hukum yang mencakup penyelesaian perselisihan yang jelas dan mekanisme realokasi tanah. Ini sangat efektif sekali untuk memastikan bahwa kebijakan tersebut diumumkan dan dilaksanakan dengan lancar.

Memastikan keterlibatan warga

Pengumpulan tanah membutuhkan kerja sama dan persetujuan sejumlah besar warga, sehingga sangat penting bagi pemerintah untuk melibatkan warga dalam proses perencanaan. Sebagian anggota komite proyek melakukan kunjungan lapangan secara ekstensif, konsultasi, dan mencari saran dari para petanidi area yang diidentifikasi untuk menemukan kerangka kebijakan yang akan menangani masalah mereka. Proses konsultasi dirancang dengan baik untuk menangani masalah para pemilik tanah dengan cara yang komprehensif dan holistik. Selain itu, pengungkapan dokumen dan pemberitahuan kepada publik dimasukkan ke dalam proses pada beberapa tahap.

Mengatasi situasi tidak ada kesepakatan

Mengingat bahwa pengumpulan tanah bersifat suka rela, meskipun upaya untuk memastikan keadilan sudah dilakukan, mungkin saja timbul situasi warga memilih untuk tidak ikut berpartisipasi. Situasi ini mengharuskan pembuat keputusan mempertahankan rencana darurat. Dari 26 desa yang terlibat di Andhra, dua desa memilih keluar dari proyek pengumpulan tanah. Sebagai alternatif, pemerintah negara menawarkan kompensasi berdasarkan Hak atas Kompensasi yang Adil dan Transparansi dalam Undang-undang Akuisisi Tanah, Rehabilitasi, dan Pemukiman Kembali (2013) Para warga desa berpendapat bahwa LPS tidak memberikan kompensasi yang adil dan mengkritik penghitungan tarif yang sewenang-wenang. Selanjutnya, pada Februari 2020, pemerintah negara mengeluarkan dua desa ini dari wilayah ibu kota Amaravati dan menggabungkan keduanya dengan kota tetangga.

Sumber Informasi /Tambahan

  1. Otoritas Pembangunan Daerah Ibu Kota Andhra Pradesh (2018). Pengumpulan Tanah untuk Pembangunan di Andhra Pradesh. Tersedia di: https://crda.ap.gov.in/crda_norifications/NOT07091749/01~Case%20Study%20on%20Land%20Pooling%20Scheme%20@%20Amaravati.pdf#:~:text=As%20the%20largest%20exercise%20of%20its%20kind%20in,33%2C700%20acres%20have%20been%20consolidated%20through%20the%20scheme.
  2. Jurnal Internasional Riset Teknik & Teknologi (IJERT) (2022). Praktik Pengumpulan Tanah di India – Studi Kasus Amaravati dan Magarpatta. Tersedia di: https://www.ijert.org/land-pooling-practices-in-india-a-case-study-of-amaravathi-and-magarpatta
  3. Asian Development Bank (2022). Pengumpulan Tanah di Asia Selatan. Tersedia di: https://www.adb.org/sites/default/files/publication/767671/sawp-088-land-pooling-south-asia-lessons-learned.pdf

Other Relevant Case Studies

Pemerintah Brunei mengalokasikan B$18 juta (USD 13.4 juta)* untuk pengembangan BruHealth fase II dan III dari anggaran Tahun Fiskal 23/24.
Pembangunan pembangkit listrik tenaga surya difasilitasi oleh pembiayaan konsesional campuran, dengan total biaya sebesar US$41 juta, termasuk dukungan US$4 juta dari Program Pembiayaan Campuran Kanada-IFC.
Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) yang mengelola Jalan Tol MBZ telah melepas 40% sahamnya di PT Jasamarga Jalan layang Cikampek (JJC) senilai Rp 4,38 triliun (USD 291,6 juta) * ke PT Margautama Nusantara (MUN) yang merupakan anak usaha Perusahaan Salim Grup.
Scroll to Top